
CAPTION: ILUSTRASI- Pertanian di Desa Embalut, Kukar.
TENGGARONG – Di tengah dominasi industri tambang yang telah lama mengakar di Desa Embalut, Kutai Kartanegara, segelintir petani masih berusaha mempertahankan tradisi bertani mereka.
Meski lahan pertanian kian menyusut dan tanah semakin miskin unsur hara, semangat para petani tidak luntur. Kini, mereka tengah berjuang melakukan transformasi pertanian di tengah kondisi lahan yang nyaris tak lagi subur.
Menurut Kepala Desa Embalut, Yahya, lahan pertanian di desanya telah menyusut drastis. Dari luas yang dulu mencapai ratusan hektare, kini hanya tersisa sekitar 40 hektare sawah yang kualitasnya sudah jauh menurun akibat eksploitasi tambang.
“Sawah padi kami tersisa cuma sekitar 40 hektare. Itu pun kualitasnya sudah turun jauh dibanding dulu,” ujarnya, Kamis (13/3/2025).
Kondisi semakin diperparah dengan program reklamasi tambang yang belum sepenuhnya efektif. Tanah yang dikembalikan ke desa ternyata dalam kondisi miskin unsur hara, membuatnya sulit untuk ditanami kembali.
“Ini lahan ekstrem. Pemulihannya butuh waktu 3 sampai 4 tahun. Harus sabar dan rajin pupuk organik,” jelas Yahya.
Akibat kondisi tanah yang tidak lagi subur, petani mulai mengurangi ketergantungan pada padi sebagai komoditas utama.
Mereka kini beralih ke tanaman yang lebih tahan terhadap kondisi tanah marjinal, seperti jagung, cabai, dan singkong. Pola tanam pun disusun secara selang-seling (rotasi tanaman) untuk menjaga keseimbangan nutrisi tanah.
Tak hanya soal pilihan tanaman, tantangan lain yang dihadapi adalah kebutuhan pupuk yang tinggi.
Dengan kondisi tanah yang miskin unsur hara, penggunaan pupuk menjadi faktor kunci dalam meningkatkan produktivitas lahan. Namun, harga pupuk kimia yang terus meningkat menjadi kendala tersendiri.
Untuk mengatasi hal ini, Desa Embalut mulai menerapkan sistem integrasi pertanian dan peternakan. Petani didorong untuk memanfaatkan kotoran sapi sebagai pupuk organik, yang bisa langsung digunakan untuk memperbaiki struktur tanah.
“Kami mencoba integrasi dengan peternakan sapi. Kotorannya kami olah jadi pupuk kandang, jadi lebih murah dan lebih ramah lingkungan,” kata seorang petani setempat.
Sayangnya, meski telah memiliki solusi lokal, petani masih menghadapi minimnya pendampingan dari penyuluh pertanian.
Menurut Yahya, penyuluh pertanian dari pemerintah daerah sudah hampir dua tahun tidak turun ke desa, padahal petani sangat membutuhkan bimbingan teknis dalam mengelola tanah pasca-tambang.
“PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) kami sudah hampir dua tahun tidak pernah turun ke desa. Padahal, petani kami butuh bimbingan teknis untuk mengelola tanah yang rusak,” keluhnya.
Selain masalah teknis, budaya bertani di kalangan generasi muda juga menjadi tantangan besar. Dominasi tambang selama bertahun-tahun telah mengubah pola pikir masyarakat, membuat banyak anak muda lebih memilih bekerja di sektor tambang daripada bertani.
“Banyak anak muda berpikir bertani itu melelahkan dan kurang menguntungkan. Padahal, kalau dikelola dengan baik, bertani bisa jauh lebih menguntungkan daripada kerja di tambang,” ujar Yahya.
Untuk mengubah persepsi ini, pemerintah desa mencoba mengedukasi masyarakat tentang pertanian modern yang berbasis bisnis. Yahya mencontohkan bahwa satu hektare jagung saja bisa menghasilkan keuntungan hingga Rp50 juta per musim.
“Kalau 1 hektare jagung bisa untung Rp50 juta, kenapa tidak? Masalahnya selama ini bertani tidak diajarkan sebagai bisnis, tapi hanya sekadar bertahan hidup,” tegasnya.
Desa Embalut kini mulai membangun sistem pertanian yang lebih berorientasi pasar. Selain menanam, petani didorong untuk memahami strategi pemasaran, mencari mitra dagang, serta mengakses program pendanaan bagi usaha pertanian mereka.
Meskipun pertanian di Desa Embalut menghadapi berbagai tantangan besar, para petani tidak menyerah. Dengan kombinasi pemulihan tanah, inovasi sistem pertanian, dan perubahan pola pikir, pertanian di desa ini perlahan mulai bangkit kembali.
Tantangan memang masih ada, mulai dari reklamasi tanah bekas tambang, keterbatasan pupuk, hingga minimnya dukungan dari pemerintah daerah. Namun, semangat untuk mempertahankan pertanian tetap menyala.
“Saya percaya kalau kita kelola dengan ilmu dan mau belajar, pertanian tetap punya masa depan di Embalut,” pungkas Yahya. (*)