Desa Tani Bhakti Jaga Warisan Leluhur dari Dominasi Tambang untuk Masa Depan

CAPTION: Muhammad Amin, Kepala Desa Tani Bhakti.
Tenggarong– Di tengah gegap gempita deru mesin tambang dan tawaran investasi menggiurkan dari industri batu bara, Desa Tani Bhakti di Kecamatan Loa Janan, Kutai Kartanegara, memilih untuk tidak langsung terpesona.
Di balik gemerlap janji kekayaan, ada suara yang lebih dalam dan mengakar—suara tanah, sawah, dan warisan leluhur yang tak tergantikan.
Adalah Muhammad Amin, Kepala Desa Tani Bhakti, yang kini berdiri di garda terdepan perjuangan mempertahankan identitas pertanian desanya.
Baginya, tanah yang menghijau dan padi yang menguning bukan sekadar ladang ekonomi, tapi juga jati diri dan masa depan.
“Tambang batu bara mungkin menggiurkan, namun kita tidak boleh melupakan bahwa pertanian adalah warisan yang harus kita jaga,” ucap Amin tegas, Sabtu (22/3/2025).
Tani Bhakti bukanlah desa biasa. Namanya mencerminkan akar dan nilai yang dijunjung: kerja keras, pengabdian pada tanah, dan harapan pada hasil bumi.
Di tengah tekanan dari berbagai pihak yang mendekati dengan iming-iming proyek tambang, Amin bersikukuh mempertahankan orientasi desa sebagai desa pertanian.
Bagi Amin, mempertahankan sawah bukan hanya soal nostalgia atau romantisme masa lalu. Ia melihat potensi besar jika pertanian dikelola secara cerdas, modern, dan inovatif.
Oleh karena itu, ia mulai merancang pelatihan-pelatihan untuk memperkenalkan pertanian berbasis teknologi kepada masyarakat.
“Kita harus mempersiapkan generasi muda untuk menjadi petani-petani baru yang tidak hanya mengandalkan cangkul, tetapi juga teknologi. Kita bisa pakai drone, sensor tanah, irigasi otomatis—semua itu sudah bisa diakses,” ujarnya penuh semangat.
Amin menyadari tantangan besar yang dihadapi: anak-anak muda yang cenderung meninggalkan ladang, tergiur oleh pekerjaan instan dan dunia digital. Namun, ia tidak menyerah.
Ia mulai mengajak pemuda-pemudi desa untuk melihat bahwa menjadi petani masa kini tidak kalah keren, bahkan bisa lebih menguntungkan jika dikelola dengan benar.
Melalui kerjasama dengan dinas pertanian dan penyuluh lapangan, Amin mulai membuka program pelatihan hidroponik, budidaya padi organik, serta teknik pemasaran digital untuk hasil pertanian.
Bahkan, ia tengah menggagas pembentukan komunitas petani muda yang diharapkan menjadi ujung tombak transformasi pertanian di desa.
“Saya yakin, jika diberikan akses, pelatihan, dan inspirasi, anak-anak muda akan bangga menjadi petani. Ini bukan soal bertani seperti dulu, tapi bertani dengan visi dan strategi masa depan,” tambahnya.
Desa Tani Bhakti kini benar-benar berada di persimpangan. Di satu sisi, perusahaan-perusahaan tambang menawarkan jalan pintas menuju uang dan infrastruktur cepat.
Namun, di sisi lain, Amin dan sebagian besar warga melihat bahwa pertanianlah yang membawa keberlanjutan, keadilan ekologis, dan kemandirian jangka panjang.
“Kami tidak anti-investasi, tapi kami ingin pembangunan yang tidak merusak akar kami. Kalau tambang masuk, sawah hilang. Lalu, apa yang akan diwariskan pada anak cucu kami?” ujar Amin, lirih tapi tegas.
Ia juga menekankan bahwa pilihan untuk tetap di jalur pertanian bukan hanya keputusan ekonomi, tapi keputusan moral, budaya, dan lingkungan. “Kami sedang menanam keputusan, dan kami ingin panennya adalah keberlanjutan,” tutup Amin. (*)