Dari Posyandu ke Rumah Warga, Perjuangan Sunyi Desa Liang Ulu Melawan Stunting

TENGGARONG – Di sudut desa yang dikelilingi kebun karet dan jalan-jalan tanah yang mulai berdebu di musim panas, suara tawa anak-anak terdengar dari Posyandu RT 04, Desa Liang Ulu.
Di sana, ibu-ibu tampak menggendong anak sambil menunggu giliran penimbangan. Mereka datang bukan karena diundang, tapi karena percaya—tempat ini bisa membawa harapan bagi tumbuh kembang buah hati mereka.
Salah satu dari mereka adalah Rina (28). Dua tahun lalu, anak keduanya, Ilham, dinyatakan mengalami gejala stunting.
Berat badannya tak bertambah dalam tiga bulan, dan pertumbuhannya tak seperti anak seusianya. Awalnya ia mengaku kaget, lalu sempat menolak percaya.
“Waktu itu saya sempat malu. Saya pikir, kalau anak saya dibilang stunting, berarti saya sebagai ibu kurang pandai mengurus. Tapi setelah dijelaskan kader dan bu bidan, saya sadar ini bukan soal salah siapa, tapi bagaimana kita menangani,” ujar Rina pelan, Sabtu (24/5/2025).
Sejak itu, Rina rutin datang ke Posyandu, mengikuti penyuluhan, dan mulai mengubah pola makan anaknya. Kini, Ilham sudah mulai aktif bermain dan berat badannya naik. “Alhamdulillah, sekarang lebih ceria dan lahap makan,” katanya sambil tersenyum.
Kisah seperti Rina hanyalah satu dari puluhan cerita serupa yang menjadi perhatian Kepala Desa Liang Ulu, Mulyadi.
Baginya, menangani stunting bukan sekadar menjalankan program pemerintah. Ini soal menyelamatkan masa depan generasi desa.
“Stunting bukan soal angka di laporan. Ini soal anak-anak yang akan membangun desa ini ke depan. Kalau mereka lemah hari ini, desa ini juga akan lemah sepuluh tahun nanti,” ungkap
Mulyadi dengan suara tenang namun tegas.
Di bawah kepemimpinannya, Desa Liang Ulu menjadikan Posyandu sebagai pusat pelayanan gizi, edukasi, dan pembinaan keluarga.
Program pemberian makanan tambahan digalakkan, pelatihan kader ditingkatkan, dan RT diminta aktif menyisir warga yang belum terjangkau layanan.
“Posyandu tidak boleh menunggu. Kita yang harus mendatangi warga. Termasuk mereka yang mungkin malu, tertutup, atau tidak tahu anaknya butuh bantuan,” jelas Mulyadi.
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi desa bukan kekurangan program atau fasilitas, tapi masih adanya rasa malu dari orang tua saat anak mereka dicurigai mengalami stunting. Menurut Mulyadi, ini tantangan budaya yang harus diubah menjadi budaya peduli dan gotong royong.
“Kami ingin orang tua tahu, datang ke posyandu bukan berarti gagal. Justru itu bukti cinta mereka pada anak-anaknya,” katanya.
Desa Liang Ulu kini juga menggerakkan ibu-ibu PKK dan tokoh masyarakat untuk menyampaikan pesan dari rumah ke rumah: tidak ada yang salah dengan meminta bantuan, karena setiap anak berhak tumbuh sehat. (*)