Dapur PKK Kelurahan Melayu, Solusi Gizi Ibu dan Anak di Tengah Keterbatasan Anggaran

*CAPTION: ILUSTRASI- Pemberian makanan tambahan atau intervensi gizi di Kelurahan Melayu.
TENGGARONG – Saat banyak daerah fokus pada program Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk anak sekolah, Kelurahan Melayu di Kecamatan Tenggarong mengambil langkah berbeda.
Dengan penuh kesadaran terhadap siklus kehidupan, perhatian justru diarahkan ke kelompok rentan yang kerap luput dari sorotan, ibu hamil, ibu menyusui, dan balita.
Langkah ini bukan tanpa alasan. Bagi Lurah Melayu, Aditiya Rakhman, intervensi gizi yang baik harus dimulai bahkan sebelum seorang anak lahir.
Perhatian terhadap ibu hamil dan menyusui dianggap sebagai investasi jangka panjang untuk menciptakan generasi yang lebih sehat dan tangguh.
“Kami lebih ke ibu hamil dan menyusui. Mereka punya peran vital dalam tumbuh kembang anak. Jadi penting untuk memastikan mereka mendapat asupan gizi yang memadai sejak dini,” ungkap Aditiya, Jumat (21/3/2025).
Tidak seperti MBG yang memiliki skema dan anggaran khusus, program gizi di Kelurahan Melayu tidak mendapat alokasi dana tersendiri. Namun, keterbatasan itu tidak menyurutkan semangat.
Bersama Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (TP PKK), kelurahan merancang strategi berbasis komunitas: dapur kolektif yang menyuplai makanan bergizi bagi kelompok sasaran.
Mekanismenya cukup sederhana tapi efektif. Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (DPMPD) menjadi penyedia bahan dan kebutuhan operasional, sementara ibu-ibu PKK bertugas mengolah makanan. Standar gizi ditetapkan oleh Puskesmas, sehingga kualitas dan kandungan nutrisi tetap terjaga.
“Kalau anggaran khusus memang tidak ada, tapi bantuan disalurkan melalui PKK. DPMPD mengelola kegiatan itu, lalu PKK yang memasak makanan sesuai standar gizi dari Puskesmas,” jelas Aditiya.
Makanan yang sudah diolah dan dikemas dengan takaran yang sesuai kemudian disalurkan melalui Posyandu yang tersebar di lingkungan Kelurahan Melayu.
Di sinilah peran kader kesehatan dan PKK benar-benar terasa, mereka bukan hanya memasak, tapi juga menjadi penghubung langsung antara layanan gizi dan masyarakat.
Fokus utamanya adalah balita yang terindikasi kekurangan gizi, serta ibu hamil dan menyusui yang membutuhkan tambahan asupan.
Posyandu menjadi titik temu yang ideal—tempat yang selama ini sudah dipercaya oleh warga sebagai pusat informasi kesehatan keluarga.
Meski program ini berbeda dari skema MBG yang sedang digalakkan pemerintah, Kelurahan Melayu tidak menempatkannya sebagai tandingan.
Justru sebaliknya, Aditiya menyebutkan bahwa program berbasis komunitas ini dapat menjadi pelengkap dari program nasional, menjangkau kelompok sasaran yang belum tersentuh oleh MBG.
“Kalau MBG kan langsung ke sekolah-sekolah. Setahu saya ada badan khusus yang menangani itu. Sementara kami di kelurahan menunggu instruksi dari dinas terkait. Jika dilibatkan, tentu kami akan menjalankan sesuai arahan,” ujarnya.
Salah satu nilai penting dari pendekatan ini adalah semangat gotong royong dan partisipasi warga.
Ibu-ibu PKK tak hanya berkontribusi dalam bentuk tenaga, tetapi juga turut menciptakan budaya peduli pada gizi dan kesehatan keluarga. Bagi mereka, dapur bukan sekadar tempat memasak, tapi pusat solidaritas sosial.
Konsep dapur komunitas ini pun berpeluang menjadi model intervensi gizi yang bisa direplikasi di wilayah lain, terutama di daerah yang belum tersentuh oleh program MBG atau memiliki keterbatasan anggaran.
Dengan keterlibatan aktif masyarakat, keberadaan Posyandu yang terintegrasi, serta dukungan lintas instansi, Kelurahan Melayu perlahan mengukir jalan sendiri dalam upaya menciptakan generasi yang sehat dari rahim hingga bangku sekolah. (*)